Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Blogroll

Apa Kabar Monumen Bela Negara?

Written By Blogger Indonesia on Minggu, 25 Desember 2011 | 07.46

Sewaktu Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menggelar seminar ”Gerakan Nasional Bela Negara dan Monumen Bela Negara di Jakarta, 16 Desember 2010. Muncul gagasan untuk membangun Monumen Nasional Bela Negara di Provinsi Sumatera Barat, guna mewarisi nilai-nilai perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 1948-1949 kepada generasi muda.

Gagasan itu menjadi perbincangan hangat, setelah sejumlah tokoh asal Sumbar yang menjadi pembicara dalam seminar, saling berebut lokasi pendirian monumen. Perebutan paling sengit terjadi antara Mantan Danpuspom ABRI Mayjend (Purn) Djasri Marin dengan Wakil Wali Kota Bukittinggi Harma Zaldi.

Djasri Marin mengusulkan, monumen dibangun di Limapuluh Kota, Sumbar. Alasannya, pusat PDRI 1948-1949 yang menjadi dasar bagi pemerintah menetapkan Hari Bela Negara, berada di Limapuluh Kota.

Sedangkan Harma berpendapat Monumen sebaiknya dibangun di Bukittinggi, Sumbar. Sebab Bukittinggi pernah menjadi ibukota negara saat PDRI 1948-1949 berlangsung di Sumatera Tengah. Di Bukittingi pula, embrio PDRI muncul pertama kalinya.

Setelah terjadi debat cukup seru, Wagub Sumbar Muslim Kasim yang ikut tampil sebagai pembicara berupaya menjadi penengah. Muslim mengatakan, rencana pembangunan monumen perlu dirembukkan kembali dengan pemerintah kabupaten/kota di Sumbar yang wilayahnya pernah menjadi basis PDRI 1948-1949.

Dalam seminar, Muslim menerima dana persiapan pembangunan Monumen Nasional Bela Negara dari Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, sebesar Rp 50 juta.

Enam bulan setelah seminar di Kementerian Pertahanan Jakarta, rencana pembangunan Monumen Bela Negara masih terdengar nyaring. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno kemudian menerbitkan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 450-320-2011 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Monumen Bela Negara.
Keputusan Gubernur Sumbar bertanggal 6 Juni 2011 itu menetapkan dua poin penting. Pertama, lokasi pembangunan monumen diputuskan di Nagari Kototinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Limapuluh Kota. Kedua, lokasi pembangunan Tugu Bela Negara di Halaban Limapuluh Kota, Bukittinggi dan Solok Selatan.

Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya keputusan tersebut, menurut Gubernur dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan Belanda Daerah Sumbar Barat, Anggaran pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan sumber lainnya yang sah atau tidak mengikat.

Keputusan Gubernur ini tentu saja mendapat apresiasi dari masyarakat, terutama masyarakat yang daerahnya ditetapkan sebagai lokasi pembangunan Monumen Bela Negara maupun Tugu Bela Negara. Tapi apa hendak dikata, aksi nyata setelah keputusan itu belum terlihat sama sekali.

Sampai kini, sampai Hari Bela Negara 2011 diperingati, rencana pembangunan Monumen Nasional Bela Negara dan Tugu Bela Negara masih seperti menggantang asap dan mengukir langit. Masyarakat yang daerahnya ditetapkan sebagai lokasi pembangunan, bagaikan si punguk yang merindukan bulan.

Pemprov mesti menyikapi persoalan ini dengan serius. Realisasi pembangunan monumen ataupun tugu harus kembali didesak kepada pemerintah pusat. Bila tidak, apa yang sudah dilakukan Pemprov Sumbar ataupun pemerintah kabupaten/kota, tak ubahnya seperti pepatah lama: kijang masih di rimba, tapi dagingnya sudah dibagi!

Pemprov mesti melibatkan para pelaku sejarah PDRI, para akademisi, wartawan pencinta sejarah, maupun YPP PDRI. Ini tentu penting dilakukan agar konsep pembangunan Monumen Bela Negara dan Tugu Bela Negara tidak monoton dan benar-benar menghayati spirit perjuangan PDRI. Sehingga, Monumen Bela Negara dan Tugu Bela Negara tidak seperti kebanyakan monumen atau tugu-tugu perjuangan di Indonesia yang lapuk dimakan waktu, sepi dari pengunjung, penuh rayap dan berdebu.

Padang ekspress

0 komentar:

Posting Komentar